Selasa, 07 Juni 2016

Gairah Tante Lisa | AGEN POKER ONLINE

Gairah Tante Lisa

 GAIRAH TANTE LISA

AGEN POKER ONLINE - Tante Cantik Beranak Satu Birahi Tinggi, Kejadian ini terjadi saat aku mencari tempat kos kosan di daerah Surabaya, selamat setengah hari aku mencari cari ternyata membuahkan hasil aku mendapat kos kosan yang baru dan nyaman, dan kira kira saat itu aku sudah menetap satu mingguan di kos baru aku berkenalan dengan wanita namanya Lisa dia kira kira berumur 30an tahun ada kabar tante Lisa itu Janda dan beranak satu.

Kami akrab hingga saat ini , kejadian itu saat sore hari dimana aku habis mandi aku melihat tante Lisa yang sedang santai santai di kamarnya sambil nonton TV , kamarku san kamarnya sebelahan jadi apapun yang kami lakukan kurang lebih mengetahui.

Dengan hanya mengenakan handuk, aku mencoba menggoda Lisa. Dengan terkejut ia lalu meladeni olok-olokanku. Aku semakin berani mengolok-oloknya.

Akhirnya ia mengejarku. Aku pura-pura berusaha mengelak dan mencoba masuk ke kamarku. Eh.. ternyata dia tidak menghentikan niatnya untuk memukulku dan ikut masuk ke kamarku.

“Awas kau.. entar kuperkosa baru tahu..” gertaknya.

“Coba kalau berani..” tantangku penuh harap.

Aku menatap matanya, kulihat, ada kerinduan yang selama ini terpendam, oleh jamahan lelaki. Kemudian, tanpa dikomando ia menutup kamarku. Aku yang sebenarnya juga menahan gairah tidak membuang-buang kesempatan itu.

Aku meraih tangannya, Lisa tidak menolak. Kemudian kami sama-sama berpagutan bibir. Ternyata, wanita cantik ini sangat agresif. Belum lagi aku mampu berbuat lebih banyak, ternyata ia menyambar handuk yang kukenakan. Ia terkejut ketika melihat kejantananku sudah setengah berdiri. Tanpa basa-basi, ia menyambar kejantananku serta meremas-remasnya.

“Oh.. ennaakk.. terussh..” desisanku ternyata mengundang gairahnya untuk berbuat lebih jauh. Tiba-tiba ia berjongkok, serta melumat kepala kontolku.

“Uf.. Sshh.. Auhh.. Nikmmaat..” Ia sangat mahir seperti tidak memberikan kesempatan kepada untuk berbuat tanya. Dengan semangat, ia terus mengulum dan mengocok kontolku. Aku terus dibuai dengan sejuta kenikmatan. Sambil terus mengocok, mulutnya terus melumat dan memaju-mundurkan kepalanya. 

“Oh.. aduhh..” teriakku kenikmatan.

Akhirnya hampir 10 menit aku merasakan ada sesuatu yang mendesak hendak keluar dari kontolku.

“Oh.. tahann.. sshh. Uh.. aku mau kkeluaar.. Oh..”

Dengan seketika muncratlah air maniku ke dalam mulutnya. Sambil terus mengocok dan mengulum kepala kontolku, Lisa berusaha membersihkan segala mani yang masih tersisa.

Aku merasakan nikmat yang luar biasa. Lisa tersenyum. Lalu aku mencium bibirnya. Kami berciuman kembali. Lidahnya terus dimasukkan ke dalam mulutku. Aku sambut dengan mengulum dan menghisap lidahnya.

BANDAR POKER ONLINE - Perlahan-lahan kejantananku bangkit kembali. Kemudian, tanpa kuminta, Lisa melepaskan seluruh pakaiannya termasuk bra dan CDnya. Mataku tak berkedip. Buah dadanya yang montok berwarna putih mulus dengan puting yang kemerahan terasa menantang untuk kulumat. Kuremas-remas lembut payudaranya yang semakin bengkak.

“Ohh.. Teruss Ded.. Teruss..” desahnya.

Kuhisap-hisap pentilnya yang mengeras, semnetara tangan kiriku menelusuri pangkal pahanya. Akhirnya aku berhasil meraih belahan yang berada di celah-celah pahanya. Tanganku mengesek-geseknya.

Desahan kenikmatan semakin melenguh dari mulutnya. Kemudian ciumanku beralih ke perut dan terus ke bawah pusar. Aku membaringkan tubuhnya ke kasur. Tanpa dikomando, kusibakkan pahanya. Aku melihat vaginanya berwarna merah muda dengan rumput-hitam yang tidak begitu tebal.

Dengan penuh nafsu, aku menciumi memeknya dan kujilati seluruh bibir kemaluannya.

“Oh.. teruss.. Ded.. Aduhh.. Nikmat..”

Aku terus mempermainkan klitorisnya yang lumayan besar. Seperti orang yang sedang mengecup bibir, bibirku merapat dibelahan vaginanya dan kumainkan lidahku yang terus berputar-putar di kelentitnya seperti ular cobra.

“Ded.. oh.. teruss sayangg.. Oh.. Hhh.”

Desis kenikmatan yang keluar dari mulutnya, semakin membuatku bersemangat. Kusibakkan bibir kemaluannya tanpa menghentikkan lidah dan sedotanku beraksi.

“Srucuup-srucuup.. oh.. Nikmat.. Teruss.. Teruss..” teriakannya semakin merintih.

Tiba-tiba ia menekankan kepalaku ke memeknya, kuhisap kuat lubang memeknya. Ia mengangkat pinggul, cairan lendir yang keluar dari memeknya semakin banyak.

“Aduhh.. Akku.. keluuaarr.. Oh.. Oh.. Croot.. Croot.”

Ternyata Lisa mengalami orgasme yang dahsyat. Sebagaimana yang ia lakukan kepadaku, aku juga tidak menghentikan hisapan serta jilatan lidahku dari memeknya. Aku menelan semua cairan yang kelyuar dari memeknya. Terasa sedikit asin tapi nikmat. Lisa masih menikmati orgasmenya, dengan spontan, aku memasukkan kontolku ke dalam memeknya yang basah. Bless.. “Oh.. enakk..”

Tanpa mengalami hambatan, kontolku terus menerjang ke dalam lembutnya vagina Lisa.

“Oh.. Lisaaaa.. sayang.. enakk.”

Batang kontolku sepeti dipilin-pilin. Lisa yang mulai bergairah kembali terus menggoyangkan pinggulnya. “Oh.. Ded.. Terus.. Sayang.. Mmhhss..”

Kontolku kuhujamkan lagi lebih dalam. Sekitar 15 menit aku menindih Lisa.. Lalu ia meminta agar aku berada di bawah. “Kamu di bawah ya, sayang..” bisiknya penuh nikmat.

Aku hanya pasra. Tanpa melepaskan hujaman kontolku dari memeknya, kami merobah posisi. Dengan semangat menggelora, kontolku terus digoyangnya. Lisa dengan hentakan pinggulnya yang maju-mundur semakin menenggelamkan kontolku ke liang memeknya.

“Oh.. Remas dadaku.. Sayaangg. Terus.. Oh.. Au.. Sayang enakk..” erangan kenikmatan terus memancar dari mulutnya.

“Oh.. Lisa.. terus goyang sayang..” teriakku memancing nafsunya.

Benar saja. Kira-kira 15 menit kemudian goyang pinggulnya semakin dipercepat. Sembari pinggulnya bergoyang, tangannya menekan kuat ke arah dadaku. Aku mengimbanginya dengan menaikkan pinggulku agar kontolku menghujam lebih dalam.

“Dediiii.. Ah.. aku.. Keluuaarr, sayang.. Oh..”

AGEN JUDI ONLINE - Ternyata Lisa telah mencapai orgasme yang kedua. Aku semakin mencoba mengayuh kembali lebih cepat. Karena sepertinya otot kemaluanku sudah dijalari rasa nikmat ingin menyemburkan sperma.Kemudian aku membalikkan tubuh Lisa, sehingga posisinya di bawah. Aku menganjal pinggulnya dengan bantal. Aku memutar-mutarkan pinggulku seperti irama goyang dangdut.

“Oh.. Lisa.. Nikmatnya.. Aku keluuarr..”

Crott.. Crott.. Tttcrott.

Aku tidak kuat lagi mempertahankan sepermaku.. Dan langsung saja memenuhi liang vagina Lisa.
“Oh.. Ded.. kau begitu perkasa.”

Telah lama aku menantikan hal ini. Ujarnya sembari tangannya terus mengelus punggungku yang masih merasakan kenikmatan karena, Lisa memainkan otot kemaluannya untuk meremas-remas kontolku.

Kemudian, tanpa kukomando, Lisa berusaha mencabut kontolku yang tampak mengkilat karena cairan spermaku dan cairan memeknya. Dengan posisi 69, kemudian ia meneduhi aku dan langsung mulutnya bergerak ke kepala kontolku yang sudah mulai layu.

Aku memandangi lobang memeknya. Lisa terus mengulum dan memainkan lidahnya di leher dan kepala kontolku. Tangan kanannya terus mengocok-ngocok batang kontolku. Sesekali ia menghisap dengan keras lobang kontolku. Aku merasa nikmat dan geli.

“Ohh.. Lisa.. Geli..” desahku lirih.

Namun Lisa tidak peduli. Ia terus mengecup, mengulum dan mengocok-ngocok kontolku. Aku tidak tinggal diam, cairan rangsangan yang keluar dari vagina Lisa membuatku bergairah kembali. Aku kemudian mengecup dan menjilati lobang memeknya. Kelentitnya yang berada di sebelah atas tidak pernah aku lepaskan dari jilatan lidahku. Aku menempelkan bibirku dikelentit itu.

“Oh.. Ded.. nikmat.. ya.. Oh..” desisnya.

Lisa menghentikan sejenak aksinya karena tidak kuat menahan kenikmatan yang kuberikan.

“Oh.. Terus.. Sss.” desahnya sembari kepalanya berdiri tegak.

Kini mememeknya memenuhi mulutku. Ia menggerak-gerakkan pinggulnya.

“Ohh.. Yaahh. Teruss.. Oh.. Ooohh” aku menyedot kuat lobang vaginanya.

“Ded.. Akukk ohh.. Keluuaarra.. Ssshhss..”

BANDAR JUDI ONLINE - Ia menghentikan gerakannya, tapi aku terus menyedot-nyedot lobang memeknya dan hampir senmua cairan yang keuar masuk kemulutku. Kemudian dengan sisa-sisa tenaganya, kontolku kembali menjadi sasaran mulutnya. Aku sangat suka sekali dan menikmatinya. Kuakui, Lisa merupakan wanita yang sangat pintar membahagiakan pasangannya.

Lisa terus menghisap dan menyedoti kontolku sembari mengocok-ngocoknya. Aku merasakan nikmat yang tiada tara.

“Oh.. Lisa.. Teruss.. Teruss..” rintihku menahan sejuta kenikmatan. Lisa terus mempercepat gerakan kepalanya.

“Au.. Lisa.. Aku.. Keluuarr.. Oh..”

Croott.. Croott.. Croot..

Maniku tumpah ke dalam mulutnya. Sementara Lisa seakan tidak merelakan setetespun air maniku meleleh keluar.

“Terimakasih sayang..” ucapku..

Aku merasa puas.. Ia mengecup bibirku.

“Ded.. mungkinkah selamanya kita bisa seperti ini. Aku sangat puas dengan pelayananmu. Aku tidak ingin perbuatan ini kau lakukan dengan wanita lain. Aku sangat puas. Biarlah aku saja yang menerima kepuasan ini.”

Aku hanya terdiam. Sejak saat itu, aku sering meniduri di kamarnya, selalu dalam keadaan telanjang bulat, terkadang dia juga tidur di dalam kamar kostku, tentu saja dengan mengendap-endap.

Terkadang, kami tidur saling tumpang tindih, membentuk posisi 69, aku tertidur dengan menghirup aroma segar kemaluannya, sedangkan Lisa mengulum penisku. 

Di kala pagi, penisku selalu ereksi, diemut-emutnya penisku yang ereksi itu, sementara aku dengan cueknya tetap tidur sambil menikmati oralnya, terkadang aku jilat kemaluannya karena gemas. TAMAT

Senin, 06 Juni 2016

My Lady | AGEN POKER ONLINE

My Lady



AGEN POKER ONLINE - Kami duduk rapat-rapat, terguncang ke sana kemari oleh olengan bis. Aku menengok ke sebelahku. Jenny mengerling ke arahku. Sesaat pandangan kami tumbuk. Matanya menyipit, senyuman halus tergurat di bibirnya. Tangannya menggapai. Jarinya terasa bergerak berkelana di pahaku. Tangannya tiba-tiba kupegang erat-erat. Terasa kebahagiaan yang luar biasa membahana dalam diriku.

Jenny adalah wanitaku. Vaginanya hanya untuk diriku. Dan kemaluanku adalah milik dia sepenuh-penuhnya. Setiap habis berhubungan badan, setiap aku habis menumpahkan bijiku di antara bibir kemaluan nya, kemaluanku pasti kutidurkan di bantalan telapak tangannya, kadang selagi masih berdenyut-denyut lemah menghabiskan tenaga ejakulasinya.

“Kasihan, kasihan..” demikian ia bergumam sambil mengecupnya lembut, merasakan mani yang tersisa di kulitnya, menghirup baunya yang asin menyengat.

Bus berpacu makin cepat ke arah selatan. Jalan semakin menciut, lama-kelamaan tidak lagi beraspal. Kerikil pun lama-lama semakin jarang, jalan menjadi lorong berdebu, dua lekukan dangkal yang memanjang sejajar di tengah padang rumput. Dan akhirnya.. Laut! Bentangan biru yang berkilat-kilat. Matahari telah condong ke barat menyulap permukaan air menjadi sejuta titik pancaran cahaya.

Bis berhenti di bawah naungan nyiur di halaman sebuah losmen. Kami turun. rambut Jenny terangkat-angkat diterpa angin laut. Ombak berbisik di kejauhan, desisnya yang mesra menyapu wajah kami yang tergelimang keringat. Hari sudah sore. Sejak siang tadi kami mengukir perjalanan dari ujung utara ke ujung selatan pulau kecil ini. Sekarang kelelahan menguasai raga kami.

Perlahan kami melangkah naik ke serambi. Di sebelah kanan ada sebuah meja bundar dengan beberapa kursi. Di sebelah kiri kantoran kecil, sebuah meja dengan buku tulis kumal di atasnya, sebuah lemari kaca, sebuah kursi tua yang serat rotannya putus-putus. Seorang ibu setengah baya, memakai daster dan sandal jepit, menyambut kedatangan kami dengan tawa lega. Dengan ramah ia menjabat tangan kami.

“Ibu Lasmi”, demikian ia memperkenalkan diri dengan ramah.

Rupanya bulan Juni di losmen ini jarang ada tamu. Bangunannya sangat sederhana. Hanya tembok bata persegi panjang tidak berplester. Tidak ada langit-langit. Di kolong atap, balokan kayu bersilang menopang genteng. Terlihat kilauan sinar matahari menyusup masuk di sana-sini melalui celah-celah di genteng. Rongga bangunan tersekat menjadi dua deretan kamar yang memanjang kanan-kiri.

Di tengah, sebuah lorong menembus lurus ke pintu belakang. Lantainya semen tanpa tegel. Di ujung belakang ada ruang makan kecil, mejanya hanya satu yang diberi papan kayu panjang kanan-kiri untuk tempat duduk. Ke belakang lagi ada dua kamar mandi dan dua bilik WC. Di ujung lorong, muka dan belakang, tidak ada daun pintu. Angin berhembus bebas dari laut menghantar kesejukan lembut ke dalam losmen.

Malam itu kami makan di losmen: nasi dengan teri goreng dan selada tomat segar yang gurih. Minumannya teh pahit. seHabis makan aku mandi, Jenny pun mandi. Belum jam delapan kami sudah menuju ke kamar. Kamar kami kecil, ranjangnya dua di kanan-kiri. Kelambu bergelantungan dari kerangka kayu di atas kasur kapuk. Ada jendela yang melompong tidak berkaca, daun kayunya tidak menyambung kanan-kiri serta tidak dapat ditutup dengan rapat.

Cepat-cepat kami berganti pakaian. Aku memakai sarung dan kaos oblong. Jenny memerosotkan celana dalamnya, kain batik dililitkan pada tubuhnya yang sintal berlekuk-lekuk, buah dadanya menghilang di balik kancing blus sutra yang biasa dipakainya kalau tidur. Sesaat kami berdiri berpelukan di tengah kamar, bibirnya kukecup, kurasakan hangat tubuhnya, kuhirup wangi rambutnya. Jenny menyandarkan pipinya ke dadaku. Terasa kemaluanku membengkak hendak bangun, tetapi perlahan kami berpisah.

BANDAR POKER ONLINE - Aku naik ke ranjang, Jenny pun masuk di balik kelambu di ranjang sebelah. Aku merapikan kelambuku. Dalam sekejap aku pun sudah pulas. Kemrosak! Aku terlonjak duduk tegak, mataku cepat menjelajahi keremangan. Terasa ada sesuatu. Ada suara krisik-krisik. Dekat. Jantungku berdebar keras. Kakiku perlahan kuselonjorkan keluar kelambu. Perlahan aku berdiri. Senyap. Lalu krisik lagi.. Di luar jendela. Aku melangkah ke jendela, daun jendela kudorong perlahan, kriik terbuka. Aku menjenguk keluar. Semak belukar di samping losmen bermandikan cahaya bulan purnama yang redup.

Samar-samar kelihatan dua bayangan. Krisik! Ada nafas terengah-engah. Krisik lagi! Aku memicingkan mata berusaha menembus kegelapan. Tiba-tiba kelihatan. Ada dua ekor kuda Timor, jantan dan betina. Yang jantan berdiri di belakang yang betina, kaki depannya terangkat menunggang di atas punggung yang betina berjuntai kanan-kiri. Tampak batang kelaminnya melongok di antara kaki belakangnya, berdenyut-denyut didesakkannya ke liang peranakan di bawah dubur yang betina. Bless.. Masuk, diiringi ringkikan nafas dari kedua binatang. Kaki mereka terhentak-hentak, semak terinjak-injak berantakan, yang betina didekap kencang oleh yang jantan, nafasnya semakin mendesah, sempoyongan sebentar lalu tegak lagi, dan tiba-tiba si jantan meringkik dan meringkik lagi dan meringkik lagi, keras. Terasa ada tangan halus menyelinap ke bawah kaos oblongku, menggerayangi perutku.

“Kau ingin seperti gitu?” bisik Jenny, merangkul aku dari belakang.
“Kau wanitaku, tentu aku mau,” jawabku.
“Sebaliknya kamu, apa kamu mau disodok seperti gitu? Batangku gede lho, kaya kuda itu. Liangmu apa muat?”
“Terang ndak cukup, wong batangmu sak-kayu gelondong besarnya.”

Aku tertawa lirih. Ukuran pirantiku biasa saja, tapi aku senang juga kalau dikatakan gede. Aku membalik. Kepala Jenny hanya sebatas daguku. Kupeluk dia, lembut, ahh alangkah lembutnya pelukanku, alangkah pasrahnya tubuh Jenny menyandar di dadaku.

“Tadi kau tidur?” bisikku.
“Enak sekali, nyenyak.”
“Sekarang sudah segar?”
“Sudah.” Wajahnya menengadah, matanya berkilat-kilat.
“Ayo, kita jalan-jalan.”
“Lho, ke mana?”
“Keluar. Mumpung lagi terang bulan, aku kepengin merasakan suasana malam di tepi pantai.”

Diam-diam kami menyusup keluar kamar. Sunyi segalanya. Bak hantu, tidak bersuara, kami melayang cepat ke pintu belakang, turun tangga, lalu menapak jalan kecil yang turun landai ke tepi laut. Pasir tergerit-gerit di bawah injakan kaki kami. Di pasiran, kami berdiri bergandengan tangan memandang ke laut, menghirup kesejukan, menatap kilauan terang bulan di ombak yang bergulung, rebah, maju menjilat pergelangan kaki kami, lalu mendesis mundur kembali. Masih bergandengan tangan, kami berjalan santai ke arah ujung pantai, menuruti liku-liku busa dan rumput laut yang disisakan oleh ombak di pasir.

Berhadapan dengan laut tampak ada pohon besar menghamparkan bayangan gelap di bawah dedaunannya yang rindang. Aku menuntun Jenny masuk ke bawah naungannya yang remang. Aku merangkul betinaku, kukecup kupingnya yang melingkar kecil seperti kerang laut. Jenny berlutut di hadapanku. Tangannya merogoh ikatan sarungku, dibukanya. Sarungku merosot jatuh menggeletak lemas di pasir. Batang kemaluanku tersingkap melongok, berdiri tegak dan keras. Jenny merangkul pahaku. Kepalanya didekatkan ke alatku, rambutnya yang sepundak panjangnya terasa menyapu kemaluanku.

Aku menggigil kenikmatan, kemaluanku semakin membaja, menanti sentuhan bibir Jenny. Tetapi ia tidak segera mengulumku. Ia menjulurkan bibirnya, lidahnya keluar-masuk menyogok kantong pelirku yang berbulu. Bibirnya menempel di kulitnya yang keriput lalu menghisap. Bola pelirku ditarik masuk ke mulutnya, bibir dan lidahnya memijit-mijitnya. Aku mengerang, kedua tanganku menjambak rambut Jenny. Kuremas ubun-ubunnya menahan kenikmatan. Dilepaskannya kantong pelirku. Lidahnya melata naik, menjilat batang kemaluanku sampai ke kepalanya. Berulang-ulang ia menjilat dari pangkal sampai ke kepalanya. Lalu kemaluanku dikulumnya lembut, dihisap. Kalung lekukan daging yang melingkar di pinggir kepalanya dibelainya dengan lidahnya.

Tiba-tiba zakarku disedot, dan disedot lagi makin keras. Kepala Jenny bergerak maju mundur, pipinya berulang-ulang membenjol dan mengempis sejalan dengan maju mundurnya batangku di dalam mulutnya. Terasa giginya memarut lembut dan menggigit halus sepanjang batangku. Nafasku mendesah. Aku menggapai ke bawah mengangkat Jenny. Ia berdiri, aku pun berlutut di hadapannya. Kainnya kusibak. Nampak kehitaman jembutnya yang lebat dan lebar. Aku teramat suka bulu kebetinaannya yang ikal dan kaku seperti kawat halus. Hidungku kudesakkan ke tengah bulunya, kuhirup aromanya yang manis.

Kugenggam bulunya dengan bibirku, kutarik-tarik, kepalaku kugoyangkan kanan-kiri. Kuraih kainnya, kusentak mendadak. Kainnya jatuh lepas dari pinggangnya, kubuang ke pasir. Tanganku sebelah kuselipkan di antara pahanya, kuangkat kakinya sebelah, kupanggulkan di atas bahuku. Betisnya yang halus terjuntai menutupi belikatku. Silit Jenny dengan mahkota jembutnya sekarang berada tepat di depan mulutku. Dalam cahaya redup kulihat itil klentitnya mengintip keluar di antara lipatan bibir vaginanya yang berkilau basah. Perlahan, sangat perlahan, kujilat itilnya.

AGEN JUDI ONLINE - Terasa Jenny melonjak kecil dan menarik nafasnya tajam. Dari kerongkongannya keluarlah lenguh lirih yang panjang. Mukaku kudongakkan ke atas. Pandangan mataku menyusuri kekusutan jembutnya dan lengkungan perutnya. Dadanya sudah naik turun dengan cepat, pentil susunya tampak membenjol di bawah sutra blusnya. Jenny memandang ke arah laut, kelopak matanya setengah terpejam, nafasnya mendesah terengah-engah. Ia membungkuk di atas diriku.

“Terus,” bisiknya parau.
“Terus.. Terus.. Terus..” desahnya makin intens.

Lidahku kutancapkan ke liang vaginanya, keluar-masuk, keluar-masuk. Bibir vaginanya kucepit lembut di antara lidahku dan bibirku, kutekan anusnya kanan kiri, atas bawah, kusodok dengan hidung. Tanganku meremas pinggulnya kanan-kiri, pinggulnya yang melengkung sintal teramat indah. Lalu jariku melingkar ke belakang. Gundukan pantatnya kuremas-remas, jariku menancap keras dalam keempukannya.

Aku duduk di pasir, kakiku kuselonjorkan lurus ke depan. Jenny berdiri menghadapiku, kakinya di kanan-kiri pahaku. Lalu perlahan-lahan ia jongkok, selangkangannya menukik turun, vaginanya terhenti sebentar di atas kepala kemaluanku, lalu lancar dan cepat, menyambar dan menelan keseluruhan batangku. Sesaat kami duduk lega, kepala kemaluanku tertancap jauh di dalam. Lalu Jenny mulai menggenjot. Naik turun, naik turun, mula-mula perlahan, lama-lama semakin cepat. Nafas kami berdesah seirama, otot pantatku kejang-kendor mendorong zakarku menancap ke atas.

Tangan Jenny meraih kaosku, tak sabar diangkatnya, dilepaskan melalui kepalaku. Dibuang. Jariku gemetar memetik kancing blus Jenny, kugenggam sutranya, kusibak keras, terdengar kain sutranya tersobek. Tidak sabar kudorong blusnya, kusingsingkan lepas dari pundaknya. Susu Jenny meloncat keluar menunduk berisi, pentilnya besar kasar, gelap warnanya. Kupepetkan susunya ke dadaku, ahh, ahh, terasa benjolan pentilnya terplenet menekan bulu dadaku. Tanganku menggapai ke bawah mengambil pasir segenggam. Kutaburkan di atas pundak Jenny yang mulus. Pasir kemricik mengalir di antara payudaranya, bercampur dengan tetesan keringat yang bermunculan di kulitnya.

“Aduh!” Tiba-tiba Jenny menghentikan genjotannya.
“Terus.. Terus!” bisikku.
“Ehh, nanti dulu,” cekikiknya.
“Ada pasir di kemaluanku.”
“Ehh kasihan. Ayo, berdiri. Cuci dulu ah.”

Kami bangkit. Kuraih tangan Jenny. Kami melangkah berdampingan keluar dari naungan pohon, berjalan ke tepi laut. Di batas jangkauan ombak kami berdiri telanjang bulat, berkilau-kilau putih bermandikan cahaya rembulan yang melayang terang di langit cerah penuh bintang. Kutuntun Jenny masuk ke laut. Air tidak dingin, tetapi ia meloncat kecil setiap kali ada ombak menggerayang tubuhnya. Terasa air naik sampai ke perutku. Jenny berada di hadapanku, air sudah menutupi pundaknya, buah dadanya terapung-apung.

Kuselipkan kedua telapak tanganku ke bawah bokongnya, dengan mudah dapat kuangkat. Jenny melilitkan tangannya di leherku, kakinya melingkar di pinggangku, terasa tumitnya menekan pantatku kanan kiri. Untuk sesaat aku tergoyah ombak yang lewat, lalu dengan kakiku tertancap di dasar aku berdiri teguh. Di bawah permukaan air kemaluanku sudah mendongak tegak ke atas. Tepat di atasnya, memek Jenny sudah mangap ke bawah. Perlahan keturunkan tubuh Jenny. Silitnya menelan batangku sampai ke pangkal. Penuh sayang dan kelembutan kami saling berciuman. Lama kami terdiam terbuai ombak, saling merasakan indahnya bersatu-padu.

Jenny,” bisikku.
“Ya, jantanku sayang.”
“Aku sudah ingin keluar.”
“Aku iya ndak tahan.”
“Sama-sama yuk.”
“Mau aku. Mau sekali. Ayo, jangan ditahan.”

BANDAR JUDI ONLINE - Terasa Jenny mengencangkan pelukannya, nafasnya mendesah keras di telingaku. Ia mengerang lirih, tubuhnya melengkung ke belakang. Tiba-tiba tangannya sebelah menghantam air, kakinya mengejang di belakangku, tumitnya mengetuk-ngetuk pangkal punggungku. Pada saat itu juga zakarku mengejang, aku nyogok keras ke dalam keempukan liang Jenny, maniku pecah terpompa keluar mengisi rongga sanggamanya. Dunia nyata memudar, mengabur dan menghilang terhanyut gelora kenikmatan yang membanjiri segalanya. Seisi alam serasa berdenyut nikmat.

“Sst,” Jenny mendesis di telingaku.
“Ada orang!”
“Mana?” Aku menggeragap berpaling.
“Situ. Di pasir. Tuh ada api rokok.”
“Waduh. Ada juga. Malah dua!”
“Gimana nih? Ngapain kita?”
“Diam dulu, sayang. Ndak apa-apa.”
“Kalau tahu ada pakaian kita di sana gimana?”

Sayup-sayup terdengar suara orang bercakap-cakap. Sesekali rokok mereka membara merah. Ada yang ketawa, pendek, keras, kasar. Beberapa menit lewat, lalu mereka berjalan menjauh. Gumam suara mereka tenggelam dalam keremangan.

“Ayo, kita keluar” bisik Jenny menggigil.
“Kedinginan aku.”

Aku membopong Jenny keluar. Kami memungut pakaian kami yang berserakan kacau di bawah pohon. Masih meneteskan air, cepat-cepat kami berpakaian. Blus Jenny menempel basah di punggung dan dadanya, menganga di sebelah muka kehilangan kancingnya yang tersobek lepas.

“Sudah subuh.”

Aku menunjuk ke laut. Tampak lidah cahaya merah jambu sudah mulai membakar garis cakrawala di sebelah timur. Buru-buru kami kembali ke losmen. Ketika kami naik tangga pintu belakang, di ruang makan Ibu Lasmi sudah duduk di meja mengiris sayur diterangi lampu teplok.

“Pagi Bu,” sapaku.
“Pagi Tante,” demikian Jenny mengulang agak gugup.
“Hah? Dari mana nih?” Ibu Lasmi melongo heran.
“Ya jalan-jalan cari kerang di pantai, Bu,” jawabku sekenanya.
“Lha kok rambutnya basah, pakaiannya ya basah!?”

Jenny menutupkan blusnya ke dadanya. Ibu Lasmi menatap sebentar. Senyum sayu perlahan muncul di wajahnya.

“Sana, tidur dulu,” katanya lirih.
“Mumpung belum siang.”

Wajahnya terselimut bayangan, tetapi aku menangkap kesan seolah matanya berkaca-kaca, seolah ia mendadak terlanda kenangan yang indah dan sekaligus pahit. Di kamar, kami membuka pakaian kami yang basah. Dengan tanganku kusapu butir-butir pasir yang masih menempel di buah dada, punggung dan paha Jenny. Kuseka rambutnya yang masih terurai kaku kena air laut. Jenny naik ke ranjangnya.

Aku menengok keluar jendela. Dalam cahaya pucat dini hari tampak dua ekor kuda berdiri berdampingan, kepalanya tertunduk merumput dengan tenangnya. Aku berpaling melangkah ke ranjang Jenny. Aku merangkak masuk ke bawah klambu. Kami berbaring berdampingan, telanjang bulat, tertutup selimut batik. Perlahan dan lembut, Jenny mengulurkan tangannya. Kemaluanku diambilnya, dengan hati-hati dicomotnya kepalanya, dibelainya sebentar dengan ibu jarinya dan ditidurkannya di atas telapak tangannya yang menengadah.

“Kasihan.. Kasihan..” bisiknya. Dan kami pun tertidur.